Bulu Itik di Kepala Pencuri

Mesjid Imam Ali Bin Abi Thalib As

Suatu hari, seseorang menghadap Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dan mengadukan tetangganya yang selalu mengganggu dan mencuri itiknya. Namun, ia tidak tahu siapa pencurinya. Imam Ali berkata kepada orang itu, “siang ini, datanglah ke masjid. Akan kutunjukkan siapa pencurinya”. Imam Ali pun berkhutbah di masjid dan berkata, “seseorang diantara kalian telah mencuri itik milik tetangganya dan sekarang berada di sini. Bulu itik itu ada di atas kepalanya sekarang” (maksud beliau, bulu itik itu berada di atas kepala itik). Saat itu, Imam Ali dengan jeli melihat salah seorang hadirin mengusap kepala dengan tangannya. Segera, beliau menyuruh si pemilik untuk mengambil itiknya dari orang tersebut (dari orang yang ketahuan mengusap kepala dengan tangannya itu).

Saluuni yaa Maasyiran-Naas

Ketika Imam Ali diangkat menjadi khalifah secara aklamasi (dengan suara mayoritas) dan ummat Islam membai’atnya dengan sukarela, beliau pergi ke masjid dengan memakai sorban dan selendang Rasulullah saw, memakai sandal Rasulullah saw, lalu beliau naik mimbar dan duduk di atasnya sambil menyilangkan jari-jari kedua tangannya dan meletakan dekat perut. Kemudian beliau berkata: “Maasyirannas…bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku. Inilah wadah ilmu. Inilah air liur Rasululah saw. Inilah yang Rasulullah saw tuangkan padaku berkali-kali. Bertanyalah kepadaku karena aku mempunyai ilmu-ilmu orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang…”

Perkataan Imam Ali itu tentu bukan sekedar omong kosong, tetapi sebuah kenyataan dan bukti kesiapan beliau untuk memberikan jawaban segala persoalan dan memberikan solusi yang tepat terhadap segala problema umat manusia. Said bin al Musayib berkata, “Tidak ada seorangpun dari sahabat Rasulullah yang mengatakan itu kecuali Ali bin Abi Thalib. Beliau berkali-kali mengatakan itu diatas mimbar” (Usud al Ghabah 4/22).

Sepanjang sejarah umat Islam ada beberapa orang yang sesumbar seperti perkataan di atas, tapi akhirnya dipermalukan karenanya, seperti: Muqotil bin Sulaiman, pada suatu saat duduk dan berkata, ”Betanyalah kepadaku tentang apa yang ada di bawah Arsy sampai Luyana.” Seorang bertanya kepadanya, “Adam ketika haji, siapa yang memotong rambutnya?” Lalu dia (Muqotil) menjawab, “Ini bukan pertanyaanmu, tetapi Allah berkehendak mempermalukanku atas keujubanku” (Tarikh al Khatib al Baghdadi 13 hal. 163).

Qatadah berkata, “bertanyalah kepadaku tentang al Quran! (niscaya aku menjawabnya). Abu Hanifah lalu bertanya kepada Qatadah, “Bagaimana pendapatmu tentang Firman Allah: Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip” (Q.S 27:40). Siapakan orang itu?” Qatadah menjawab, “Dia adalah anak pamannya Sulaiman bin Dawud. Dia mengetahui nama Allah yang Sangat Agung. “Apakah Sulaiman mengetahui nama (yang sangat agung) itu?” tanya Abu Hanifah lagi. “Tidak”. Jawab Qatadah yakin. “Subhanallah, berarti di hadapan seorang Nabi ada orang yang lebih pandai darinya.” Ujar Abu Hanifah. “Tanyakan persoalan lainnya!” kata Qatadah. “Apakah anda orang yang beriman?” tanya Abu Hanifah. “Saya berharap seperti itu,” jawab Qatadah. “Mengapa Anda tidak menjawab seperti Nabi Ibrahim “Ya, aku beriman” (Q.S 2:260) “Penganglah tanganku! Demi Allah, aku tidak akan datang ke kota ini lagi!” ujar Qatadah dengan malu (al Intiqa`, hal. 156).

Riwayat di atas dikutip dari Muhammad Ridha Al-Hakimi, Mengungkap Untaian Kecerdasan Sayidina Ali Bin Abi Thalib (MUKSA), hal 11-16.

Lalu bagaimana dengan Imam Ali sendiri? Beliau berkata, “Sebelum aku meninggalkan kalian, tanyakanlah kepadaku tentang al Qur’an. Demi Allah! Tidak satupun dari ayat al Quran yang turun, kecuali Rasulullah membacakannya untukku, dan mengajarkan tafsirannya.” Ibnu Abil Hadid menuturkan: Umar Ibnu Khatab berkata kepada Ali bin Abi Thalib, ”Aku heran kepadamu wahai Ali, karena setiap kesulitan yang aku tanyakan kepadamu, engkau tidak pernah mengatakan tidak tahu, dan engkau selalu dapat menjawabnya secara langsung, bahkan tanpa berpikir sejenakpun.” Lalu Imam Ali menunjukkan lima jarinya ke hadapan Umar seraya berkata: “Wahai Umar, berapakah ini?”

Seketika Umar menjawab, “Lima.” “Ketahuilah wahai Umar! Sesungguhnya bagiku semua ilmu pengetahuan dan jawaban dari segala masalah adalah semudah engkau menjawab pertanyaanku tadi.” (Ilmu pengetahuan dan kebenaran itu jelas bagi Ali, seperti jelasnya Umar melihat lima jari tangan Ali).

Ammar bin Yasir bertutur: Pada satu peperangan, aku dan Imam Ali bin Abi Thalib as melewati sebuah gurun yang dipenuhi oleh semut. Akupun berkata kepada imam Ali, “Wahai Tuanku, apakah ada yang mengetahui jumlah semut ini?” “Ya Wahai Ammar, aku mengetahuinya.” Jawab Imam Ali. “Bagaimana engkau mengetahuinya?” tanya Ammar lagi. “Wahai Ammar, tidakkah engkau membaca surah Yasin? Yang mengatakan:

وكل شيء أحصيناه في إمام مبين

“Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam imam yang nyata” (Q.S 36:12) ?” “Demi Allah, jiwaku kukorbankan untukmu, sesungguhnya aku telah membaca surah itu berkali-kali.” Ujar Ammar. “Maksud dari Imamim-mubin yang tersebut dalam Surah Yasin itu adalah diriku.” (Tafsir Jami’, jilid 5).

Anjing atau Kambing

Saat itu seseorang datang menghadap Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dan berkata, “Seekor anjing mengawini seekor kambing dan sekarang kambing itu melahirkan. Kami tidak tahu apakah anak dari keduanya itu anjing atau kambing?” Imam Ali menjawab, “Jika ia makan tulang berarti ia anjing, jika makan rumput berarti ia kambing”. “Kadang ia makan rumput, kadang makan tulang,” kata orang itu. “Kalau ia minum air dengan lidah berarti ia anjing, kalau dengan mulut berarti ia kambing”. “Ia pun kadang melakukan kedua-duanya”, lanjut orang itu. Imam Ali pun menjawab, “Jika ia berjalan di belakang kambing berarti ia anjing, jika ia berjalan di depan atau di tengah-tengah mereka berarti ia itu kambing”. “Kadang ia berjalan di depan dan kadang ia berjalan di belakang kawanan kambing”.

“Lihatlah, jika ia tidur di atas ekornya, ia adalah anjing. Jika tidurnya seperti kambing maka ia kambing”. “Ia juga terkadang tidur dengan dua cara ini”, kata orang itu. “Kalau hewan itu kencing seperti anjing maka ia anjing, jika seperti kambing maka ia kambing”. “Kadang seperti anjing, kadang seperti kambing”. Akhirnya, Imam Ali pun berkata, “kalau begitu, sembelihlah hewan itu. Jika ia punya kantung makanan pemakan rumput maka ia kambing, jika tidak ia adalah anjing”.

Tinggalkan komentar