Dalam permainan adu gasing ada sebuah gasing kepunyaan kawan yang berputar lebih cepat daripada kepunyaanku. Kupecahkan situasi itu dengan berpikir cepat ala Sukarno, kulemparkan gasing itu ke dalam kali. Bagaimanapun juga, ada permainan dimana seorang anak bangsa Indonesia dari jamanku tidak dapat menunjukkan keahliannya. Misalnya, Perkumpulan Sepakbola. Aku bukan hanya tidak bisa menjadi ketuanya, bahkan aku tidak dapat lama menjadi anggotanya. Anggota yang lain adalah anak‐anak Belanda yang terus terang tidak senang padaku. Anak Belanda tidak pernah bermain dengan anak Bumiputera. Ini tidak bisa.
Mereka orang Barat yang putih seperti salju, yang asli, yang baik dan mereka memandang rendah kepadaku karena aku anak Bumiputera atau “inlander”. Bagiku Perkumpulan Sepakbola itu merupakan pengalaman pahit yang membikin hati luka di dalam. Anak‐anak yang berambut jagung menjaga kedua sisi dari pintu masuk sambil berteriak, “Hei… kauuuu Bruine Hei, anak kulit coklat goblok yang malang … Bumiputera ….. inlander ….. anak kampung Hei, kamu lupa memakai sepatu….”
Sedangkan bayi‐bayi pirang sudah tahu meludah kepada kami. Begitu mereka keluar dari kain bedung orok, inilah pengajaran pertama yang diajarkan orang-tuanya kepada mereka.
Di pagi hari aku bergembira, karena aku bersekolah di sekolah Bumiputera, dimana kami semua sama. Kami semua tigapuluh orang murid di Inlandsche School kelas dua. Bapakku menjadi Mantri Guru yang berarti kepala sekolah. Orang Bumiputera dilarang memakai pangkat Kepala Sekolah. Di waktu itu belum ada bahasa Indonesia persatuan. Sampai kelas tiga setiap murid berbicara dalam bahasa Jawa sebagai bahasa daerah.
Dari kelas tiga sampai kelas lima guru memakai bahasa Melayu, bahasa Melayu asli yang telah tersebar ke seluruh bagian dari Hindia Belanda dan akhirnya menjadi dasar bagi bahasa nasional kami, bahasa Indonesia.
Dua kali seminggu kami diajar bahasa Belanda. Ketika aku naik ke kelas lima, bapak menerangkan maksudnya. “Cita‐citaku hendak mengirim kau ke sekolah tinggi Belanda, ” katanya. “Karena itu, usaha kita yang pertama ialah memasukkan engkau ke sekolah rendah Belanda. “Karena teringat kembali akan pengalamanku di Perkumpulan Sepakbola aku bertanya, “Apakah saya tidak dapat meneruskan sekolah Bumiputera?” ”Pendidikan Bumiputera hanya sampai kelas lima. Tidak ada lanjutannya buat kita. Kita tidak boleh masuk Sekolah Menengah Belanda kalau tidak keluaran Sekolah Rendah Belanda dan tanpa ijazah ini orang tidak bisa masuk Sekolah Tinggi Belanda.” ”Apakah saya bisa masuk kesana berdasarkan kepandaian?” aku bertanya dengan perasaan kuatir. “Kau masuk dengan hak istimewa. Pegawai Gubernemen dan orang kelahiran bangsawan diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan Belanda. Yang lain tidak. “Mengingat keadaan kami aku bertanya, “Apakah Cuma-cuma?””Mana bisa. Kita mesti membayar uang sekolah.” ”Belanda juga?”,”Tidak, mereka bebas. Akan tetapi dalam penjajahan tak seorangpun dapat mencapai suatu kedudukan tanpa pendidikan Belanda. Kita harus maju. Aku akan menemui Kepala Sekolah Rendah Belanda untuk mengajukan permohonan.”
Gedung itu bagus terbuat dari kayu, bukan bambu seperti sekolah kami dan dinding luarnya berwarna biru muda. Di situ terdapat tujuh kelas. Berlainan dengan meja kami di Sekolah Bumiputera, maka bangku-bangku di sini mempunyai tempat tinta dan laci untuk buku.
Setelah aku menempuh ujian, Kepala Sekolah memberitahukan kepada bapak, “Anak tuan sangat pintar, akan tetapi bahasa Belandanya belum cukup baik untuk kelas enam Europeesche Lagere School. Kami terpaksa mendudukkannya satu kelas lebih rendah. “Ketika kami pergi kami merasa sangat tertekan. Bapak mengeluh. “Ini suatu pukulan yang hebat bagi kita. Tapi walaupun bagaimana, tidak ada jalan lain lagi.” “Umur saya sudah empatbelas,” aku memprotes. “Terlalu tua untuk kelas lima. Tentu orang mengira saya tinggal kelas karena bodoh. Saya tentu diberi malu.” “Baiklah,” bapak memutuskan di saat itu juga, “Kalau perlu kita membohong. Akan kita kurangi umurmu satu tahun. Kalau sudah mulai tahun pelajaran baru engkau didaftarkan dengan umur tiga belas. “Masih ada satu persoalan mengenai bahasa Belandaku. Sekalipun kami orang yang tidak mampu, bapak mengambil seorang guru yang mengajar bahasa Belanda di Europeesche Lagere School ini untuk memberikan pelajaran khusus kepadaku sejam setiap hari.
Aku ingat betul namanya. Juffrouw M.P. De La Riviere. M.P. kependekan dari Maria Paulina. Katakanlah, bahwa ia orang yang paling tidak menarik di dunia ini dibandingkan dengan perempuan lain dan karena itu ia tetap melekat dalam pikiranku. Cara yang paling baik untuk menerangkan arti daripada pendidikan Barat —dan bagaimana bapak telah bersusah payah mengorbankan uang, prinsip dan segala sesuatu untuk itu— ialah dengan menghubungkannya dengan kisah percintaanku yang pertamakali.
Aku berumur empatbelas tahun dan tidak ragu lagi hatiku yang muda ini telah tertambat pada Rika Meelhuysen, seorang gadis Belanda. Rika adalah gadis pertama yang kucium. Dan harus kuakui, bahwa aku sangat gugup waktu itu. Sejak itu aku lebih ahli dalam hal itu. Tapi, aduh, aku mencintai gadis itu mati‐matian dan kuikuti turun naiknya gelombang irama dari seluruh kehidupan anak sekolah. Aku membawakan buku‐bukunya, aku dengan sengaja berjalan melalui rumahnya, karena mengharapkan sekilas pandang dari dia. Dan nampaknya aku selalu secara kebetulan berada dimana dia ada.
Cintaku ini kusimpan dalam kalbuku sendiri. Aku takut mengucapkan sepatah kata, karena takut ketahuan oleh orangtuaku. Aku yakin, bahwa bapak akan sangat marah kepadaku kalau sekiranya ia mendengarku bergaul dengan anak gadis kulit putih. Sungguhpun aku sangat ingin menyampaikan sesuatu tentang hal itu kepadanya, ketakutan terhadap kemarahannya menyebabkan kata‐kataku membeku di kerongkongan. Karena itu, keinginan yang menyala‐nyala ini hanya kupercayakan kepada diriku yang sedang dimabuk kepayang.
Pada suatu sore aku berjalan‐jalan naik sepeda dengan Rika Meelbuysen dan ketika membelok di ujung jalan gang kami tepat menubruk bapak. Aku mulai menggigil karena takut. Dia bersikap hormat, tapi aku sangat kuatir akan apa yang akan menyusul nanti kalau aku sudah sampai di rumah. Inilah aku, putera bapak satu‐satunya, yang bercinta‐cintaan dengan orang Belanda yang dibenci.
Sejam kemudian aku menyusup masuk rumah dalam keadaan masih tergoncang. Bapak segera mendekatiku dan berkata, “Nak, jangan kau takut tentang perasaanku terhadap teman perempuanmu itu. Itu baik sekali. Pendeknya, hanya dengan jalan itu engkau dapat memperbaiki bahasa Belandamu!”
Ketika datang waktunya untuk masuk sekolah menengah, bapak sudah tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia menggunakan pengaruh kawan‐kawannya untuk memasukkanku ke sekolah menengah yang tertinggi di Jawa Timur, yaitu Hogere Burger School di Surabaya. “Nak,” katanya, ” Maksud ini sudah ada dalam pikiranku semenjak kau dilahirkan ke dunia.” Semua telah diaturnya dan aku akan tinggal dirumah H.O.S. Tjokroaminoto, ialah orang yang kemudian merubah seluruh kehidupanku.
”Tjokro,” ia menerangkan padaku, “Adalah kawanku di Surabaya sejak sebelum kau ada. ”0,” kataku gembira, “Saya kira dia keluarga kita.” “Tidak,” jawab bapak., “Oo, barangkali mungkin keluarga yang sangat jauh, tapi tidak serapat seorang kemenakan atau paman.” Kemudian bapak memandang kepadaku sesaat. “Kau tahu siapa Tjokro?”, “Saya hanya tahu, dia berkeliling untuk mempropagandakan keyakinan politiknya. Saya ingat dia datang ke kampung kita untuk mengadakan pidato dan menginap, bapak dengan dia mengobrol sampai waktu subuh.” “Tjokro adalah pemimpin politik dari orang Jawa.
Sungguhpun engkau akan mendapat pendidikan Belanda, aku tidak ingin darah dagingku menjadi kebarat‐baratan. Karena itu kau kukirim kepada Tjokro, orang yang dijuluki oieh Belanda sebagai ‘Radja Jawa yang tidak dinobatkan. Aku ingin supaya kau tidak melupakan, bahwa warisanmu adalah untuk menjadi Karna kedua.”
Aku tidak membawa apa‐apa ketika berangkat ke Surabaya. Tak ada barang untuk dibawa. Satu‐satunya yang mengikuti kepergianku adalah sebuah tas kecil dengan pakaian sedikit. Bapak menunjuk salah seorang guru untuk mengiringi perjalananku di kereta api yang lamanya enam jam itu. Tidak dirayakan, tidak dipestakan kepergianku itu. Yang kuingat hanya bahwa aku menangis getir. Aku meninggalkan rumah. Aku meninggalkan ibu. Aku baru seorang anak 15 tahun yang masih takut‐takut.
Di pagi itu, di hari keberangkatanku ibu melepasku dengan peringatan bahwa aku tidak lagi akan kembali untuk tinggal bersama‐sama dengan mereka. Di depan rumah kami dia memerintahkan, “Berbaringlah di tanah, nak! Berbaring saja biarpun kotor.”
Kemudian ibu melangkahi badanku pulang balik sampai tiga kali. lni sesuai dengan kepercayaan menurut ilmu kebatinan. Dengan melangkahi anaknya dengan tubuhnya sendiri darimana si anak dilahirkan dan yang mengandung kekuatan‐kekuatan sakti dari kehidupan, berarti bahwa si anak mendapat restu dari ibunya untuk selama‐lamanya. Seakan‐akan ia berkata setiap kali, “Anak ini berasal dari kandunganku dan kuberkati dia. “Kemudian dia menyuruhku bangkit. Sekali lagi ia memutar badanku arah ke Timur dan berkata dengan sungguh‐sungguh, “Jangan sekali‐kali kaulupakan, anakku, bahwa engkau adalah putera sang fajar.”