Ketika Engkau Terjaga

fragmen-sulaiman-djaya

“Di waktu-waktu sorehari puluhan tahun silam, saya suka sekali memandangi capung-capung selepas hujan. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan saya tentang kegembiraan”

Bagi banyak orang, terutama orang-orang kota, Januari tentu saja adalah bulan keriangan, pesta, dan perayaan yang hingar-bingar, tentu bagi mereka yang menyambut dan merayakannya. Tapi itu tidak sama dengan kami. Sejujurnya kami tak pernah tahu bila ada orang-orang yang menyalakan kembang api di tengah malam di ujung bulan Desember. Saya hanya tahu bahwa di saat saya terbangun pagi-pagi sekali di awal bulan itu, saya hanya keluar sejenak. Mungkin ketika itu saya terpesona, meski masih seorang kanak-kanak, saat tangan-tangan fajar menyentuh rumput dan daun-daun yang masih basah karena embun. Menyentuh hidup.

Itulah saat-saat saya sungguh-sungguh terjaga, entah saya duduk atau berdiri kala itu. Mengelanakan kedua mata ke arah cuaca. Sementara, ketika saya telah menjadi seorang lelaki remaja, di pagi-pagi seperti itu saya akan menyeduh segelas kopi dari bubuk kopi buatan Ibu, agar sedikit merasa nyaman saat duduk di gubuk, menunggu burung-burung Januari yang kami khawatirkan akan datang menyerbu.

Pada saat-saat seperti itulah, saya sadar bahwa ada yang tengah termenung, ada yang begitu riang berlarian seperti kanak-kanak yang bahagia. Juga, ada yang tengah merapihkan diri dan ada yang bermain-main saja –seperti kanak-kanak atau para bocah yang belum mengenal kejahatan dan tipu daya yang menyakitkan, atau pengkhianatan yang telah membuat sejarah menjadi arena pertumpahan darah.

Itu semua saya namakan sebagai tangan-tangan fajar yang riang bermain dan bercanda dengan burung-burung awal bulan Januari yang basah dan lembab saat saya tengah terduduk di sebuah gubuk tempat saya termenung dan menunggu. Itulah keriangan Januari yang kami pahami dan kami alami. Keriangan yang juga datang ketika kami meninggalkan tahun sebelumnya, meski saya kira, ketika itu segala sesuatunya masih tetap sama dan tidak berubah. Ketika kami menjalani hidup dengan menginjakkan kaki-kaki kami di lumpur dan meremas batang-batang padi ketika memukul-mukulkan ujung-ujung pohonnya yang bergelantungan bijian-bijian berwarna kuning pada sebuah alat yang kami sebut gelebotan. Setelahnya, seperti biasa, ada keheningan senjakala.

Burung-burung Januari saat itu, seperti sebuah karnaval yang melintasi bentangan kanvas-kanvas langit dan cakrawala yang berwarna kuning dan merah. Di hari-hari yang lain, bila kami telah selesai membantu orang tua-orang tua kami itu, kami akan bermain layang-layang hingga adzan magrib berkumandang. Dan pada malam harinya, selepas sembahyang magrib itu, kami akan membawa lampu minyak milik kami masing-masing menuju sebuah langgar tempat kami belajar Al-Qur’an kepada ustadz kami yang terbilang galak.

Seperti itulah rutinitas kami sebagai kanak-kanak sebelum akhirnya saya belajar dan mengerjakan tugas sekolah di rumah, juga bertemankan semungil nyala lampu minyak yang telah dinyalakan Ibu jelang magrib. Tidak seperti sekarang ini, musik-musik malam saya ketika itu adalah desau angin yang datang dari ranting-ranting dan sela-sela dedaunan sepanjang sungai, juga para katak dan serangga yang tak bosan-bosan memainkan orkhestra mereka dengan riang gembira, namun anehnya semakin menambah kesunyian.

Memang, saya tak sepenuhnya mengerti apa yang saya sebut sebagai ingatan. Tetapi, dengan keterserakannya, dengan potongan-potongan dan serpihan-serpihannya, mereka justru memberikan kesempatan dan kebebasan pada seseorang untuk mengumpulkannya dan merangkainya menjadi sebuah narasi yang tidak mesti sama dengan peristiwa-peristiwa sesungguhnya. Saya tergoda untuk menyebutnya sebagai historiografi angan-angan, karena mereka semua tak lebih sejumlah jejak yang samar. Ketika sebuah tulisan yang ingin menceritakannya tak ubahnya warna-warna pada sebuah kanvas.

Historiografi angan-angan itu dituliskan dan digambar dari keakraban dan keintiman, yang adakalanya bsosan dan adakalanya riang, dengan cuaca, angin, cahaya, tanah, dan sudut-sudut langit yang pernah kita tinggali dan kita akrabi dengan bathin kita. Seperti ketika Giovanni Segantini menggambar dan melukis Saint Moritz, dimana ia menumpahkan kerinduan dan kesepian bathinnya sebagai seorang lelaki. Atau, katakanlah, ingatan itu seperti ketika seseorang memandangi warna-warna dan figur-figur yang tercerai-berai di sudut-sudut kanvas, sobekan-sobekan cahaya yang justru memberi kesempatan pada kita untuk menyusun dan menambalnya dengan angan-angan kita sendiri.

Tetapi saya, kadang akan memahaminya seperti seorang perempuan belia yang merendam separuh tubuhnya di sebuah sungai di kala senja. Sebuah imajinasi impresionis yang menggoda khayalan saya demi mendapatkan penghiburan.

Entah ini tercela ataukah tidak, kadang-kadang saya mengumpamakan salah-satu pengalaman di masa kanak-kanak seperti salah-satu figur dalam lukisan impresionistik, di mana ketika saya menuliskannya tidak berarti saya menulis tentang diri saya sendiri, melainkan tentang ingatan itu sendiri. Atau biarlah saya umpamakan ingatan itu seperti sebuah samar figur di antara desir angin dan gemerisik lembut dedaunan. Atau seperti seorang bocah yang berjalan telanjang kaki sendirian di bawah barisan rindang pepohononan senjahari. Seorang bocah yang menyusuri setapak jalan sepanjang aliran sungai.

Namun yang pasti, di waktu-waktu sorehari puluhan tahun silam, saya suka sekali memandangi capung-capung selepas hujan. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkan saya tentang kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan.

Pada saat-saat seperti itu, mereka seakan-akan asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca. Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang merasa kedinginan. Dingin yang tentu saja meresap pada bulu-bulu mereka. Dan saya sendiri, ketika itu, duduk di bawah rimbun pepohonan bambu pinggir sungai kecil yang airnya mengaliri sawah-sawah. Anggaplah ketika itu, saya memang sudah jatuh cinta pada kebisuan dan kesenduan alam, yang pada akhirnya menggambar dan melukis kesenduan hidup itu sendiri. Kebisuan dan kesenduan yang memberi kedamaian yang aneh. Kedamaian yang merupakan keheningan musim yang basah dengan gerak-gerak yang samar dalam pandangan kedua mata saya sendiri sebagai seorang bocah yang hendak beranjak menjadi lelaki remaja.

Tentulah di saat-saat seperti itu, matahari sudah merasa terlambat untuk menampakkan diri. Di saat malam datang lebih awal. Kesunyian-kesunyian seperti itu pada akhirnya sangat berpengaruh pada keadaan bathin. Keadaan bathin yang mudah tersulut oleh kondisi-kondisi yang mendorong saya untuk mencipta dunia-dunia khayalan. Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dan saya sendiri, bila dilihat dari sudut pandang orang lain lagi, merupakan salah-satu figurnya. Katakanlah saya telah bersatu, atau paling tidak, telah menjadi bagian dari mereka. Sebagai seseorang yang turut mengambil bagian dalam keheningan itu sendiri.

Konon, kecendrungan-kecendrungan seperti itu sebenarnya merupakan salah-satu bentuk keterasingan dan pelarian karena kecewa dan rasa tak puas. Atau karena amarah yang terpendam. Amarah yang menyamarkan dirinya untuk menggandrungi keindahan. Semacam kegilaan yang lembut. Dan kalau pun ya, saya takkan menganggapnya sebagai persoalan atau pun masalah yang perlu disikapi dengan serius. Sebab jika pun itu semua benar, saya akan mengakuinya. Saya akan menerimanya sebagai sesuatu yang mungkin saja malah akan memberikan kebaikan-kebaikan tak terduga.

Dalam cuaca seperti itu, saya pun sebenarnya tak hanya memandangi capung-capung yang saya umpamakan sebagai para peri mungil yang tengah bergembira. Sesekali saya pun melihat juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang. Sementara itu, di malam hari, bila saya keluar dari rumah untuk memandangi bintang-bintang di langit, saya akan bertemu dengan kunang-kunang. Saya sangat mengagumi tubuh-tubuh mereka yang seperti lampu-lampu kecil yang bergerak dan beterbangan dengan cahaya-cahaya yang mereka tebarkan dari tubuh mereka kala itu.

Hanya saja, di saat saya telah menjadi seorang lelaki dewasa, saya hampir tak pernah melihat kunang-kunang masa kanak dan masa remaja saya itu. Kadang-kadang, ada kerinduan dalam hati yang terasa sangat kuat sekali untuk bisa kembali melihat mereka, binatang-binatang ciptaan Tuhan yang menurut saya sendiri termasuk dalam golongan binatang-binatang kecil paling indah. Makhluk-makhluk yang sampai saat ini saya golongkan sebagai makhluk-makhluk keluarga para peri mungil bersama dengan kupu-kupu dan para capung itu.

Saat itu, di masa-masa ketika angin ujung senja tak pernah sekalipun tidak datang ke pintu-pintu rumah kami, adzan berkumandang dalam cuaca basah, dan burung-burung telah bersembunyi di dahan-dahan, ranting-ranting atau di sarang-sarang mereka. Sedemikian akrabnya kami dengan adzan yang seakan memecahkan keheningan itu, kami juga jadi terbiasa berdoa dengan hasrat di hati kami masing-masing, yang kami tak pernah akan saling mengetahuinya satu sama lain. Namun yang pasti, kami sulit membedakan antara pasrah, berdoa atau berusaha bersikap sebagaimana layaknya orang-orang yang telah demikian akrab dengan kepolosan.

Dan kini, ternyata, saya akan menyebutnya sebagai kecerdasan jiwa kami yang tidak diajarkan di perguruan-perguruan tinggi di kota-kota besar saat ini. Bersamaan adzan yang berkumandang dari sebuah speaker yang menggunakan tenaga accu di ujung senja itulah sebenarnya kami tengah belajar berkali-kali merenungi dan memahami waktu, meski saya belum menyadarinya ketika itu.

Mungkin saja ketika itu bukan hanya kami yang berdoa, tetapi burung-burung yang sama-sama menahan dingin selepas hujan seperti kami. Tapi itu hanya rekaan saya sebagai seorang kanak-kanak yang terjebak antara rasa bosan dan keheningan yang tak kami mengerti. Itulah sebenarnya saat-saat kami tengah mengakrabi musik yang samar-samar, dengan sejumlah komposisi yang tengah dimainkan angin, daun-daun basah, burung-burung dan yang lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Sebab di sana, para katak dan para serangga turut serta menjadi para penyanyi yang meramaikan dan menjelma pentas orkestra keheningan ketika itu. Kumandang adzan di ujung senja hanyalah overture-nya.

Saya akan menamai mereka semua sebagai keriangan yang tengah bertasbih dan memuji lembab. Juga, saya akan menamai mereka sebagai konsierto menjelang tidur, sebab mereka terus saja memainkan musik dan bernyanyi hingga menjelang tengah malam. Sementara itu, sesekali angin mempermainkan daun-daun hingga menjelma desau yang mengirimkan hembusan lembut ke arah jendela dan pintu-pintu rumah kami. Saya juga akan menamainya sebagai moment of compassion. Dengan musik-musik itulah jiwa kami menjadi cerdas dan jujur pada hidup, bukan dari khotbah-khotbah seperti sekarang ini. Tentu saja, ada banyak nama untuk itu semua, tapi saya akan lebih suka menyebutnya praying in solitude.

Dalam keheningan seperti itulah, kami sebenarnya tengah belajar bagaimana berdoa dengan tulus. Itu, tentu saja, jauh berbeda dengan khotbah-khotbah modern dan politis sekarang ini, yang telah mengaburkan batas individual jiwa, bahwa hati kami masing-masing ketika itu sebenarnya tetap tak terselami sebagai manusia yang mempercayai sesuatu yang kudus dan adikodrati. Namun, kepercayaan itulah yang membuat kami, orang-orang desa, menjadi manusia-manusia yang memiliki kesabaran dan tidak pernah berputus asa meski dalam kesahajaan kami yang serba terbatas. Saya akan menamainya sebagai kekuatan dan kecerdasan jiwa. Dan pada saat itulah, ada yang berubah dan ada yang tetap dan tidak berubah. (Sulaiman Djaya 2006)

Apa Kerja Itu?

Puisi Jendela karya Sulaiman Djaya

“Menulis adalah juga kerja, bukan pengangguran sebagaimana yang disalah-pahami selama ini. Kerja dalam arti yang sesungguhnya, kerja yang sekaligus melibatkan tubuh dan pikiran, tenaga dan jiwa. Bagaimana seorang penulis, dengan tubuh dan pikirannya berkonsentarasi, melakukan pengembaraan spiritual dan intelektual bersama tubuh dan pikirannya sekaligus secara bersamaan. Penulis adalah seorang pekerja yang tak mengenal jadwal dalam arti mekanik ala para birokrat atau pegawai negeri sipil yang dibiayai uang rakyat”

Kerja merupakan sesuatu yang manusiawi yang mencakup kapasitas tubuh (tenaga), akal dan inteleknya, tak lain karena manusia-lah yang sanggup memperluas dan mengembangkan kerjanya. Kerja juga dipandang sebagai kegiatan transitif, yaitu suatu kegiatan yang memiliki hal lain sebagai objeknya. Sementara itu, secara subjektif, kerja merupakan manifestasi dan perwujudan kedaulatan manusia.

Dalam hal ini, kerja haruslah dikatakan sebagai setiap kegiatan manusiawi, baik kerja tangan atau pun kerja akal-budi. Dan marilah kita ulas satu per-satu masalah kerja ini.

Pertama, kerja sebagai kegiatan transitif, artinya kegiatan yang bermula pada pelaku manusia yang ditujukan kepada sasaran di luarnya, yang mengandaikan kedaulatan khas manusia atas bumi, yang pada saat bersamaan, mengembangkan kedaulatan tersebut.

Kedua, kerja dalam arti objektif, di mana hal ini merupakan buah kemajuan dan pencapaian intelektual manusia, utamanya penemuan mesin dan pembangunan industri modern, singkatnya penemuan dan penciptaan tekhnologi, seperti sekarang ini, di mana dalam konteks ini kerja mencakup keseluruhan perangkat peralatan yang dikerahkan oleh manusia.

Masalahnya adalah, seperti dikritisi Karl Marx, kerja dalam ranah dan kategori kedua tersebut ternyata melahirkan keterasingan atau alienasi, di mana “subjek” manusia kemudian tergerus oleh tekhnologi dan eksploitasi itu sendiri –hingga yang terjadi adalah “manusia untuk kerja”, bukannya “kerja untuk manusia”.

Masalah lainnya dari kerja dalam ranah dan kategori kedua tersebut adalah juga ternyata lebih merupakan instrument akumulasi bagi kekayaan elit korporat, pemilik perusahaan dan modal semata, dan karenanya situasi tersebut mendapat dukungan sistem sosial-politik liberal. Persis di sinilah yang menjadi konsen kritik Karl Marx seputar kerja yang melahirkan alienasi atau keterasingan bagi kaum buruh itu.

Di luar itu semua, atau dalam kategori ketiga, kerja juga mencakup kerja yang murni berkenaan dengan eksplorasi dan penggalian daya akal-budi, semisal kerja para penulis dalam menulis atau memproduksi karya-karya tulis mereka, atau kerjanya para ilmuwan yang mendedikasikan dirinya di dalam laboratorium. Di sini kita bisa memasukan para penulis, penyair, ilmuwan, filsuf, pemikir sosial, kritikus, dan yang lainnya yang dapat dimasukkan dalam kategori ini.

Lalu bagaimana dengan para pedagang, pemain saham, birokrat, olahragawan, perajin, pemahat, dan yang sejenisnya itu? Barangkali di sini kita dapat memasukkannya dalam kategori yang merupakan profesi dan skill di luar yang masuk di kategori ketiga di atas. Sebab, di jaman kita saat ini, dengan munculnya ragam disiplin dan sebaran ruang-ruang aktivitas dan kegiatan manusia, telah juga menciptakan ragam kerja itu sendiri. (Sulaiman Djaya 2015)